BerandaNews.com. Jakarta – American Cancer Society memperkirakan sekitar 12.730 wanita meninggal karena kanker ovarium tahun ini di Amerika Serikat.
Sebagai salah satu keganasan ginekologis paling mematikan, kanker ovarium tetap menjadi masalah yang mendesak bagi komunitas medis. Para peneliti di Universitas Khon Kaen saat ini sedang mengerjakan obat-obatan yang terbuat dari ganja untuk melawan kanker ovarium, menurut Medical Xpress.
Obat-obatan berbasis ganja untuk melawan kanker ovarium
Para peneliti Universitas Khon Kaen sedang mencari cara untuk mengurangi toksisitas kanker ovarium dengan turunan ganja, menurut sebuah artikel di Frontiers in Pharmacology, lapor media tersebut.
“Tujuan kami adalah untuk menemukan obat alternatif yang dapat meningkatkan efikasi dan berpotensi mengurangi toksisitas, yang pada akhirnya membawa harapan baru bagi pasien yang menghadapi penyakit yang menantang ini,” kata Dr. Siyao Tong dari Universitas Khon Kaen. Tim Tong telah bekerja dengan dua senyawa ganja: CBD (cannabidiol) dan THC (delta-9-tetrahydrocannabinol).
Menurut Jaringan Jama, 206.839 wanita meninggal dunia akibat kanker ovarium pada tahun 2022. Sehubungan dengan hal ini, Tong mengatakan bahwa kanker ovarium masih merupakan “salah satu keganasan ginekologis paling mematikan, yang ditandai dengan diagnosis terlambat, tingkat kekambuhan yang tinggi, dan pilihan pengobatan efektif yang terbatas”.
American Cancer Society memperkirakan bahwa 20.890 wanita akan menerima diagnosis baru kanker ovarium pada tahun 2025. Tong mengatakan bahwa penelitian mereka tentang obat-obatan ganja untuk pengobatan kanker ovarium “masih bersifat pendahuluan”.
Namun, ia menekankan bahwa inisiatif mereka “meletakkan dasar penting untuk penelitian masa depan tentang potensi aplikasi CBD (cannabidiol) dan THC (delta-9-tetrahydrocannabinol) dalam pengobatan kanker ovarium”.
CBD dan THC untuk pengobatan kanker
Dr. Siyao Tong berharap terapi kombinasi CBD-THC adalah masa depan pengobatan kanker. Tim Tong memantau dengan cermat “aktivitas antikanker” CBD dan THC. Mereka juga “mengidentifikasi mekanisme molekuler kunci” untuk “penelitian praklinis lebih lanjut”.
“Jika studi di masa mendatang mengkonfirmasi efek ini, terapi kombinasi CBD-THC pada akhirnya dapat berkontribusi pada pengembangan strategi pengobatan baru,” katanya. Namun, Tong juga mengakui bahwa penelitian mereka memiliki “beberapa keterbatasan”. Ia menjelaskan bahwa semua eksperimen sejauh ini telah “dilakukan secara in vitro”.
“Hasilnya mungkin tidak sepenuhnya mencerminkan kompleksitas perilaku tumor pada organisme hidup,” jelasnya. Tong mengatakan penelitian mereka kekurangan model in vivo dan data farmakokinetik.
Eksperimen model in vivo dan data farmakokinetik akan membantu dokter memahami apakah terapi CBD-THC aman secara klinis.
Penulis: Shibuya
Editor: Andhika Anggoro Wening










